Wednesday, November 5, 2025

A Season of Uncertainty

Pic source: here

Hey, life’s been a little different lately. In our house with a 20-year mortgage, there are two unemployed people... uhm well, if you don’t count the toddler. My mind’s been extra busy these days, wandering all over the place. What’s gonna happen to our future? How long is this uncertainty gonna stick around? And, why do the job offers that come in pay so much less for the same role and responsibilities as before? I seriously feel like swearing at the regime. I don’t need those 19-million padel courts, really.

It’s not like we’ve been doing nothing, though. My husband and I have been working every day on building something: an app that we hope will not only become part of our portfolio but also bring in income someday. Not only an app actually, perhaps some apps? My husband’s a talented programmer, I’m a passionate designer, and we have a new helpful friend named AI. A pretty good match, right? 🥲 

At first, it felt exciting because of spending more quality time together, feeling empowered because I got to dive back into the design rituals I’ve always loved (without any pressure from bosses or peers), and all those beautiful hopes that come with fresh ideas during our brainstorming sessions.

But whenever things go quiet, that uneasiness creeps back in. Uneasy about the uncertainty. Uneasy about the drastically changing cash flow. Uneasy about the lifestyle we have no choice but to scale down for now.

I keep reminding myself that this uncertain season might actually be teaching us something. Maybe it’s patience. Maybe it’s persistence. Or maybe it’s just learning how to keep showing up, even when nothing feels certain yet.

Still, in between the chaos and calm, there are tiny moments that keep me grounded, like the sound of my daughter’s laughter echoing through the house, the taste of ice coffee in the morning, the quiet hum of the fan when everything else feels too heavy. Maybe that’s what this season is really about: learning to find peace in the in-betweens.

I don’t know what’s waiting on the other side of all this. But I do know that we’re trying. We’re building, we’re hoping, and we’re still here, together. And maybe, for now, that’s enough.

After all, we are trying our best, so wish me luck that I can keep seeing things with hope. I believe Allah is the best scriptwriter. I believe my husband and I are the best, most solid team, both in facing this season and creating something meaningful together.

This too shall bloom. This too shall bloom.

Tuesday, September 30, 2025

Woi Penonton!

Gambar di atas diambil dari sini

Tidak semua cerita ingin dibagikan.
Tidak semua kabar kurang baik mudah diceritakan.
Kadang ada hal-hal yang lebih tenang bila disimpan saja,
dirawat dalam hati, dipeluk dalam diam.

Hari ini, cerita itu tanpa sengaja sampai pada seseorang.

Padahal kami sedang mencoba merasa baik-baik saja.
Belajar berdiri di atas pijakan yang rapuh,
membangun kekuatan dari pengalaman lampau yang mengajarkan banyak hal.
Kami sedang sibuk merangkai hikmah,
mencari makna dari segala kejutan yang datang tiba-tiba.
Kami sedang menyicil solusi,
meski kepala seringkali berdenyut mengingatkan batas diri.
Kami berusaha berdamai dengan keadaan,
menemukan tenang di tengah riuh.

Namun sebuah pertanyaan datang, memakda kami membuka pintu yang sebetulnya ingin kami tutup rapat.
Dan sesuai ekspektasi, tanggapan yang muncul pun bukan yang kami butuhkan.
Bukan kata yang menenangkan,
melainkan kalimat yang menyesakkan dada.

Aku merasa disalahkan.
Seolah aku penyebab kesulitan orang yang paling kusayangi.
Seolah langkah-langkah yang kami ambil hanya kesalahan,
tanpa ruang untuk dipahami alasannya.

Kata demi kata terus mengalir,
dengan nada prihatin bercampur kecewa, sesekali muncul kepanikan.

Hidup kami (yang sebenarnya masih baik-baik saja) jauh dari kehidupan ideal menurut versinya, membuatnya gusar.
Dan perlahan, benang kusut yang sedang kami luruskan kembali ruwet, kembali sulit disentuh dengan sabar.

Andai penonton tahu caranya diam.
Andai penonton paham,
bahwa tak semua cerita butuh ulasan,
bahwa tak semua pertunjukan butuh komentar.

Terlebih, tiket untuk duduk di kursi itu pun tak pernah ia beli.

Wednesday, December 18, 2024

Sharing: Bayi Tidur di Kamarnya Sendiri

Halo para para pembaca yang budiman! (nada bacanya sambil impersonate mas wapres, ya! lol)

Sebuah kebahagiaan bagi saya, di usia 1 tahun 3 bulan, Hara berhasil tidur di kamarnya sendiri sejak malam hingga pagi, tanpa ditemani. Mungkin bagi beberapa orang tua itu hal biasa, tapi bagi saya, hal tersebut merupakan one of my life-changing moments yang membuat motherhood era saya terasa lebih ringan. Selain kualitas, kuantitas ga kalah penting bagi saya dan suami yang terbiasa tidur 8 jam sehari. 

Sejujurnya, kami sendiri nggak terlalu paham metode-metode sleep training yang ada, hanya dengar beberapa kali disebut sekilas di podcast parenting yang kami tonton. Jadi, semua yang kami lakukan ini adalah dari hasil wawasan terbatas, pengamatan, pemikiran, dan eksperimen yang menyesuaikan kebutuhan anak kami.

Awal mula sense of urgency itu muncul adalah ketika kami menyadari selama co-sleeping, selain kami, kualitas tidur Hara kurang sekali. Hal-hal kecil seperti ketika ayahnya batuk atau ibunya bergerak karena perlu ke toilet, nggak jarang membuat Hara jadi terbangun dan menangis yang hanya bisa dihentikan dengan disusui (alias nen) untuk bisa tidur kembali. Belum lagi, pengeluaran extra untuk biaya panggil ibu urut karena saya bolak-balik encok dan sakit leher. Somehow, tidur di kamar terpisah jadi win win solution bagi kami bertiga.

Apakah mudah? Nggak susah, tapi nggak semudah itu juga. Ya intermediate, lah. Dari beberapa trials errors selama kurang lebih seminggu, ada beberapa iterasi dengan berbagai adjustment yang kami lakukan sehingga Hara bisa mandiri tidur nyenyak sampai pagi tanpa menangis atau mencari ayah ibunya. Kita langsung lompat ke hasil iterasi terakhir aja ya, semoga bisa membantu teman-teman yang mungkin sedang mengalami masalah serupa. 

Hara sudah tidur sendiri kurang lebih 8 bulan terakhir setelah kami rutin menerapkan hal-hal berikut:

Pengkodisian anak sebelum tidur

  • Mandi air hangat sebelum bersiap-siap tidur. Terinspirasi dari vlog orang Jepang yang saya tonton, di sana orang-orang terbiasa mandi malam sebelum tidur. Selain otot menjadi lebih relaks, bonus good hygiene pula. Setelahnya, Hara skip mandi pagi dan baru mandi lagi siang setelah makan atau main sampai bau kecut.
  • Wajib hukumnya perut kenyang sebelum tidur. Kami usahakan Hara puasa 2 jam sebelum jam makan malam agar merasa lapar, lalu diberikan menu yang most likely dia suka. Untuk mencoba makanan baru yang belum tentu dia sukai, kami usahakan di waktu makan lainnya untuk menghindari hal-hal belum pasti yang berpotensi mengganggu ritual tidurnya.

Persiapan kamar tidur anak

  • Tweak kamar tidur menjadi lebih baby/toddler-friendly. Kamar yang kami pilih adalah kamar yang posisinya di belakang, sehingga suara adzan shubuh dari speaker masjid tidak terlalu terdengar kencang, dibandingkan dengan kamar lainnya. Selain itu, kami juga tidak menggunakan dipan untuk mengurangi risiko terjatuh, memasang bed rails, dan menyingkirkan dari jangkauan anak barang-barang yang sekiranya bisa membahayakannya.
  • Letakkan botol minum anti tumpah (yang ada pemberat di sedotannya) dalam keadaan terbuka di posisi yang sama dan mudah dijangkau tiap malam. Jadi, anak nggak perlu cari-cari lagi dan tinggal minum aja tiap kali terbangun karena haus.
  • Pasang CCTV biar hati tenang. Terlepas dari si anak mengerti atau enggak, saya mencoba menjelaskan kalau ayah ibunya bisa memantaunya dari sana, sambil saya demokan juga cara kerjanya dan kasih lihat aplikasinya. Beri tahu juga, jika membutuhkan bantuan, ayah ibu bisa mendengar dan langsung datang dari kamar seberang. Btw, saya kasih batas waktu 5 menit tiap Hara menangis. Saya hanya akan datang ke kamarnya jika dia menangis lebih dari 5 menit. Most of the time, kalau pun sampai menangis, durasinya kurang dari 5 menit dan ia balik tidur sendiri setelahnya.
  • Letakkan beberapa boneka kesayangan di dekatnya agar anak ga kesepian. Hara beberapa kali terlihat memeluk boneka ketika terbangun di tengah malam, minum, lalu lanjut tidur lagi.
  • Pasang AC reflector dan set suhunya agar tidak terlalu dingin, yang penting cukup bikin anaknya nggak kepanasan. Sempat coba pakai sleepsack seperti saat co-sleeping dengan saya, tapi dari hasil pengamatan CCTV, anaknya malah jadi nggak leluasa bergerak dan menangis karena kesulitan ketika butuh berpindah tanpa bantuan.
  • [nice to have] Letakkan air purifier di dekat tempat tidurnya untuk jadi white noise. Cukup membantu ketika adzan shubuh, sekalian membersihkan udara (hi my fellow Jabodetabekers!) yang penuh polusi ini.

Sekian pengalaman anak saya. Disclaimer, Hara untuk bisa mulai tidur masih perlu nen, tetapi so far belum ada masalah karena saya stay-at-home mom (open to freelance work yaa, kak 🙏) yang mungkin nanti baru jadi challenge baru ketika dia sudah mulai perlu disapih. Kalau kamu punya tips untuk menyapih anak, berkabar yes! Untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya, kami juga masih ikhtiar agar Hara bisa konsisten tidur jam 8 tiap malamnya yang kadang masih suka kegeser-geser sedikit.

Semoga ada yang terbantu dengan membaca tulisan ini. Jangan lupa kalau anak itu kecerdasannya beda-beda, pun PR kami masih banyak sekali. Ada anak yang cakap di sosial kemandirian, ada pula yang cakapnya di kemampuan bahasa, motorik kasar, dan lain sebagainya. Hal-hal di atas yang works di Hara, belum tentu juga works di anak lain. Jadi, feel free to adjust in your own way dan selamat mencoba :)

Saturday, March 16, 2024

Menjadi Ibu (Rumah Tangga)

Halo, kisanak! Nggak nyangka udah hampir 5 tahun saya terakhir kali silaturahmi sama blog ini. Banyaaak sekali yang berubah, sampai bingung baiknya mulai cerita dari mana. Kalau ditanya kabar saat ini sih, di kepala saya ada benang kusut yang lagi perlu saya urai. Semoga menulis dan berbagi di sini bisa membantu. 

Mulai dari update kehidupan kali, ya. Alhamdulillah, setahun terakhir saya dan suami punya pusat dunia baru: Hara. Anak baik dan cantik yang baru bulan lalu menginjak usia 1 tahun. Buah hati yang dititipkan Allah ke hidup saya dan suami setelah 4 tahun penantian. Nanti kapan-kapan di post yang lain saya cerita ya perjuangannya. 


Sekarang tuh rasanya nggak bisa hidup tanpa dia. Wanginya, senyumnya, ocehannya nggak pernah gagal menghangatkan hati kami. Doa di sujud terakhir yang selama 32 tahun hampir selalu self-centric pun berevolusi menjadi daughter-centric. Saya ingin bisa membesarkannya dengan optimal. Saya ingin jadi ibu yang baik. Saya ingin bisa menyaksikan dan membersamainya di setiap fase tumbuh kembangnya. Kehadirannya ke dunia dan rasa cinta saya buat dia yang besar sekali ini mengubah banyak hal di hidup saya.

Menjadi ibu rumah tangga menjadi sebuah privilege yang sangat saya syukuri. Suami menyerahkan keputusan kepada saya dan mendukungnya jika memang itu yang membuat saya senang dan tenang. Bersyukur sekali masih punya pilihan. Walaupun jujur, di masa-masa tertentu saya juga kangen berkarya, bergosip sama teman kerja, menghasilkan uang sendiri... tapi kok ya, saya nggak kebayang misalnya kembali ke masa lalu dan 8 jam nggak ketemu anak. Love language saya quality time. Sulit. Saat ini dia proritas saya nomor satu. Saya berusaha berempati dengan dia, kira-kira apa yang lebih dia butuhkan di golden age-nya ini: mobil baru/liburan ke luar negeri/pelunasan cepat KPR tapi energi waktu pikiran saya terbagi banyak untuk yang lain, atau hidup sederhana (insyaallah masih bisa hidup nyaman meski nggak mewah) dengan kehadiran saya sepenuhnya?

Beruntung, saya punya suami yang sehari-hari bekerja dari rumah. Meskipun kami nggak punya asisten rumah tangga, suami bersedia berbagi pekerjaan domestik dan mengasuh bayi dengan saya tanpa mengeluh sama sekali. Terlepas dari keterbatasan waktu sebagai karyawan (meski WFH kan tetap ada huruf W-nya), saya sangat teramat bersyukur punya suami sepengertian dan se-compromise dia. Rezeki terbesar Hara saat ini sepertinya memang waktu dan kehadiran ayah ibunya.

Perasaan saya damai sekali, tapi kok sepertinya ada yang hilang?

Apakah itu aktualisasi diri? 
Apakah itu perasaan berdaya?
Astagfirullah, apakah saya kurang bersyukur?
Kira-kira apa, ya? 

Terlebih lagi, setiap membuka media sosial, teman-teman sejawat saya makin hari makin keren. Baik yang masih lajang, maupun sudah menikah, bahkan sudah punya anak. Mereka masih bisa melanjutkan pendidikan di luar negeri, membuka bisnis, menjadi pembicara di event besar, mendapat promosi di pekerjaannya, dsb dsb. Duniawi memang, tapi hebat. Saya percaya semua orang punya struggle-nya masing-masing, saya belum tentu bisa segigih, sekuat, atau setalenta mereka. The grass is always greener on the other side, right? Cuman ya, jujur, terkadang saya jadi merasa, "Kok saya gini-gini aja?".

Saya bahagia menjadi seorang ibu rumah tangga, tapi kalau boleh being vulnerable, tidak jarang saya merasa bersalah karena belum melakukan yang terbaik untuk Hara. Entah berat badannya yang belum mencapai target, kemampuan motoriknya ada yang belum sesuai milestone usianya, dan lain sebagainya. Hal-hal yang sebenarnya nggak fatal namun belum sesuai harapan kerap membuat saya menyalahkan diri sendiri. Terlebih 24 jam fokus saya untuk keluarga, tidak ada distraksi berarti. Apa usaha saya kurang keras, ya? Kurang stimulasi? Kurang riset? Kurang kreatif? Kurang ini? Kurang itu? Apakah hal-hal tersebut terjadi karena keabaian saya? Atau di luar kontrol saya? Saya kerap mempertanyakan kemampuan diri saya sebagai seorang ibu, sementara itu di saat yang sama saya juga merasa kehilangan jati diri saya di luar peran saya sebagai ibu. Kadang terbersit pikiran rasanya ingin resign saja jadi ibu rumah tangga! Eh, nggak lama saya sadar dan marahin diri saya sendiri, why do you really love running away, Gita? Sifat jelek jangan dipelihara, ah. Kok lagi belajar jalan, kesandung dikit, langsung mau nyerah? Malu sama anak bayi. :(

Bagi ibu rumah tangga seperti saya, media sosial terasa melelahkan. Hidup terkadang terlihat seperti kompetisi di kacamata saya yang sempit dan kurang bijak ini. Tapi, di usia dan lingkungan saat ini, teman di dunia nyata saya semakin sedikit dan kehidupan sosial terkadang hanya bisa dijangkau via media sosial. Nggak bohong saya masih membutuhkannya. 

Saya bersyukur dengan hidup yang sudah sesuai dengan harapan dan pilihan sendiri, tetapi di sisi lain ada kekosongan yang kerap saya rasakan tiap kali saya punya waktu untuk melamun. Saya sibuk sekali dengan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya dan bayi yang masih sangat bergantung dengan kehadiran ibunya, tapi rasanya seperti ada hal besar yang saya lewatkan.

Saya merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengisi kekosongan itu tanpa mengorbankan kedamaian hidup saya saat ini.

Tiap hari saya mikir, apa ya yang bisa saya lakukan? Bagaimana caranya agar saya bisa jadi Gita yang berdaya dan tetap punya waktu yang banyak untuk Hara?

Duh, maaf ya kalau ngalor ngidul dan mungkin terkesan banyak mengeluh. Ibu juga manusia, punya rasa punya hati~ 🎵

Thursday, May 16, 2019

Love Life Update


According to my pro bono '27 Wedding Invitations' project, here is the 13th wedding invitation I've built. Disclaimer, I didn't design it from scratch. I got some assets from a stock image platform due to my heavy workload. Thanks, freepik! 😭

Finally, I have my own wedding invitation. Finally, the one came into my life. Finally, I could hold someone's hand without worrying he would let it go.

My story and happiness are featuring @milfachu's illustration on the card, and @gabriellailena's poem below. Thanks, girls! You are the best 💕

***

there is something in the way
you came into my life;
     unexpected, yet
     comfortable at the same time.

and there is always something in the way
you make me smile;
how you're always there
to save the day,
     and how you've found your way
     into my heart
          with a sincerity that does not
          hesitate.

there is always something between us,
blooming quietly
     like the morning light,
          like colors in the sky
          that dances as hours
          pass ----

slowly, and calmly,
pure as snow;

we fell in love.

I hope we will always
hold each other's hands and hearts
for the rest of our days.

          I do,
          always.