July 8th, 01:45 pm
Dan aku baru saja pulang kemarin pagi dari perantauanku, tempat cita-cita ayah ibuku digantung. Hingga setelah puas merebahkan tubuh seharian, akhirnya aku keluar, mencari peradaban. Gerimis siang itu datang begitu saja, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori. Mendung hitam menggantung di langit Bekasi. Memamerkan sketsa kemuraman kisah cinta masa lalu yang tak pernah berakhir bahagia. Meski begitu ibu memintaku pergi ke kantor pos, sedang ayah mengantarku.
Aku terisap ragu, sesaat. Hei kamu yang menoleh padaku! Mata itu, aku mengenalnya. Meskipun rambutnya sudah tidak sependek dulu ketika ku puja-puja. Tertegunku di pelataran parkir kantor pos. Terbayang sebentuk wajah imut yang belasan tahun lalu menancapkan getar-getar aneh di pikiranku. 'Hei!', sapanya. Aku tertegun sejenak hingga akhirnya menyapanya kembali.
Dia. Cinta monyetku. Teman berkejar-kejaran di kolam air ketika taman kanak-kanak. Teman berkata-kataan nama orang tua ketika sekolah dasar. Teman duduk sebangku yang dijodohkan guru atas anjuran teman-teman sekelas ketika ulangan harian. Teman telepon barang bersenda gurau membuang waktu ketika sekolah menengah pertama. Teman pura-pura tidak kenal, tidak saling menyapa, tidak mau tahu ketika sekolah menengah atas. Teman yang aku sukai dalam diam selama belasan tahun hingga akhirnya aku lupa bentuk wajahnya sekali pun.
Rambutnya gondrong, lemak yg tertimbun di tubuhnya makin banyak. Ia masih seperti dulu, selalu mengantar ibunya pergi kemana pun beliau kehendaki. Dia menyapaku. Tidak seperti sekolah menengah atas dulu, kita selalu buang muka. Gengsi.
Hai laki-laki bernama seperti perempuan. Apa kabar? Bagaimana kuliahmu? Apa sekarang kau bahagia? Aku sungguh senang kau masih mengingatku.
Rasa yang dulu membuncah ruah di dada ketika bertemu hilang sudah. Kini, yang ada hanyalah rasa rindu bertemu teman lama yang terobati. Perasaan labil yang dulu sering aku tangisi itu kini buatku tertawa. Peduli setan dia suka dengan sahabatku, peduli setan dia berpacaran dengan teman sekelasku, peduli setan dia tidak mau lagi bersandang ke rumahku.
Sejenak aku tertegun hingga akhirnya dia tersenyum dan melambaikan tangannya. Sadarku terusik dari ruang kekosongan. Tahu-tahu, dua bola mata lebarnya beradu dengan kedua bola mata sipitku.
"Duluan ya!"
"Iya..." Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulutku.
Anak laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum, memperlihatkan barisan giginya yang putih terjaga. Aku curiga dia sedang menghitung jerawatku yang tumbuh semakin liar.
Aku tersenyum melepas kepergiannya.
"Akhirnya, kita ketemu juga...," ujarku dengan suara nyaris seperti bisikan.
Lalu semua hilang begitu saja. Kenangan masa kecil itu. Tawaku dan tawanya tanpa dosa dan beban yang pecah. Hidungnya yang mengeluarkan cairan kental ketika flu dan duduk di bawah kipas angin. Tatapannya yang melihatku seperti alien ketika aku berlari dikejar guru hingga ke luar sekolah karena takut jarum suntik. Wajahnya yang menunduk malu ketika menyanyi lagu kesukaannya, yang setelah itu tentu otomatis jadi lagu kesukaanku juga, di bawah pohon depan rumahku dengan suara yang ditahan-tahan untuk keluar.
Aku sudah lama melupakannya, tidak sepenuhnya lupa sih, tapi, ya, paling tidak aku ingat sekali-kali. Biar kenangan itu aku simpan di kotak sepatu kesempitan berdebu itu. Aku taruh dan tidak akan kubuka lagi karena aku alergi debu.
Senang bertemu denganmu, teman kecil...
monyet ingusan kesayanganku dulu.
hahah nice share
ReplyDeleteDepian yaqqqqq hahaha
ReplyDelete