Saturday, March 16, 2024

Menjadi Ibu (Rumah Tangga)

Halo, kisanak! Nggak nyangka udah hampir 5 tahun saya terakhir kali silaturahmi sama blog ini. Banyaaak sekali yang berubah, sampai bingung baiknya mulai dari mana. Kalau ditanya kabar saat ini sih, di kepala saya ada benang kusut yang lagi perlu saya urai. Semoga menulis dan berbagi di sini bisa membantu. 

Mulai dari update kehidupan kali, ya. Alhamdulillah, setahun terakhir saya dan suami punya pusat dunia baru: Hara. Anak baik dan cantik yang baru bulan lalu menginjak usia 1 tahun. Buah hati yang dititipkan Allah ke hidup saya dan suami setelah 4 tahun penantian. Nanti kapan-kapan di post yang lain saya cerita ya perjuangannya. 


Sekarang tuh rasanya nggak bisa hidup tanpa dia. Wanginya, senyumnya, ocehannya nggak pernah gagal menghangatkan hati kami. Doa di sujud terakhir yang selama 32 tahun hampir selalu self-centric pun berevolusi menjadi daughter-centric. Saya ingin bisa membesarkannya dengan optimal. Saya ingin jadi ibu yang baik. Saya ingin bisa menyaksikan dan membersamainya di setiap fase tumbuh kembangnya. Kehadirannya ke dunia dan rasa cinta saya buat dia yang besar sekali ini mengubah banyak hal di hidup saya.

Menjadi ibu rumah tangga menjadi sebuah privilege yang sangat saya syukuri. Suami menyerahkan keputusan kepada saya dan mendukungnya jika memang itu yang membuat saya senang dan tenang. Bersyukur sekali masih punya pilihan. Walaupun jujur, di masa-masa tertentu saya juga kangen berkarya, bergosip sama teman kerja, menghasilkan uang sendiri... tapi kok ya, saya nggak kebayang misalnya kembali ke masa lalu dan 8 jam nggak ketemu anak. Love language saya quality time. Sulit. Saat ini dia proritas saya nomor satu. Saya berusaha berempati dengan dia, kira-kira apa yang lebih dia butuhkan di golden age-nya ini: mobil baru/liburan ke luar negeri/pelunasan cepat KPR tapi energi waktu pikiran saya terbagi banyak untuk yang lain, atau hidup sederhana (insyaallah masih bisa hidup nyaman meski nggak mewah) dengan kehadiran saya sepenuhnya?

Beruntung, saya punya suami yang sehari-hari bekerja dari rumah. Meskipun kami nggak punya asisten rumah tangga, suami bersedia berbagi pekerjaan domestik dan mengasuh bayi dengan saya tanpa mengeluh sama sekali. Terlepas dari keterbatasan waktu sebagai karyawan (meski WFH kan tetap ada huruf W-nya), saya sangat teramat bersyukur punya suami sepengertian dan se-compromise dia. Rezeki terbesar Hara saat ini sepertinya memang waktu dan kehadiran ayah ibunya.

Perasaan saya damai sekali, tapi kok sepertinya ada yang hilang?

Apakah itu aktualisasi diri? 
Apakah itu perasaan berdaya?
Astagfirullah, apakah saya kurang bersyukur?
Kira-kira apa, ya? 

Terlebih lagi, setiap membuka media sosial, teman-teman sejawat saya makin hari makin keren. Baik yang masih lajang, maupun sudah menikah, bahkan sudah punya anak. Mereka masih bisa melanjutkan pendidikan di luar negeri, membuka bisnis, menjadi pembicara di event besar, mendapat promosi di pekerjaannya, dsb dsb. Duniawi memang, tapi hebat. Saya percaya semua orang punya struggle-nya masing-masing, saya belum tentu bisa segigih, sekuat, atau setalenta mereka. The grass is always greener on the other side, right? Cuman ya, jujur, terkadang saya jadi merasa, "Kok saya gini-gini aja?".

Saya bahagia menjadi seorang ibu rumah tangga, tapi kalau boleh being vulnerable, tidak jarang saya merasa bersalah karena belum melakukan yang terbaik untuk Hara. Entah berat badannya yang belum mencapai target, kemampuan motoriknya ada yang belum sesuai milestone usianya, dan lain sebagainya. Hal-hal yang sebenarnya tidak fatal namun belum sesuai harapan kerap membuat saya menyalahkan diri sendiri. Terlebih 24 jam fokus saya untuk keluarga, tidak ada distraksi berarti. Apa usaha saya kurang keras, ya? Kurang stimulasi? Kurang riset? Kurang kreatif? Kurang ini? Kurang itu? Apakah hal-hal tersebut terjadi karena keabaian saya? Atau di luar kontrol saya? Saya kerap mempertanyakan kemampuan diri saya sebagai seorang ibu, sementara itu di saat yang sama saya juga merasa kehilangan jati diri saya di luar peran saya sebagai ibu. Kadang terbersit pikiran rasanya ingin resign saja jadi ibu rumah tangga! Eh, nggak lama saya sadar dan marahin diri saya sendiri, why do you really love running away, Gita? Sifat jelek jangan dipelihara, ah. Kok lagi belajar jalan, kesandung dikit, langsung mau nyerah? Malu sama anak bayi. :(

Bagi ibu rumah tangga seperti saya, media sosial terasa melelahkan. Hidup terkadang terlihat seperti kompetisi di kacamata saya yang sempit dan kurang bijak ini. Tapi, di usia dan lingkungan saat ini, teman di dunia nyata saya semakin sedikit dan kehidupan sosial terkadang hanya bisa dijangkau via media sosial. Nggak bohong saya masih membutuhkannya. 

Saya bersyukur dengan hidup yang sudah sesuai dengan harapan dan pilihan sendiri, tetapi di sisi lain ada kekosongan yang kerap saya rasakan tiap kali saya punya waktu untuk melamun. Saya sibuk sekali dengan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya dan bayi yang masih sangat bergantung dengan kehadiran ibunya, tapi rasanya seperti ada hal besar yang saya lewatkan.

Saya merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengisi kekosongan itu tanpa mengorbankan kedamaian hidup saya saat ini.

Tiap hari saya mikir, apa ya yang bisa saya lakukan? Bagaimana caranya agar saya bisa jadi Gita yang berdaya dan tetap punya waktu yang banyak untuk Hara?

Duh, maaf ya kalau ngalor ngidul dan mungkin terkesan banyak mengeluh. Ibu juga manusia, punya rasa punya hati~ 🎵

Thursday, May 16, 2019

Love Life Update


According to my pro bono '27 Wedding Invitations' project, here is my 13th wedding invitation design. Finally, I made it for myself. Finally, the one came into my life. Finally, I could hold someone's hand without worrying he would let it go.

My story and happiness are featuring @milfachu's illustration on the card, and @gabriellailena's poem below (Thanks, girls! You are the best 😭💕)

***

there is something in the way
you came into my life;
     unexpected, yet
     comfortable at the same time.

and there is always something in the way
you make me smile;
how you're always there
to save the day,
     and how you've found your way
     into my heart
          with a sincerity that does not
          hesitate.

there is always something between us,
blooming quietly
     like the morning light,
          like colors in the sky
          that dances as hours
          pass ----

slowly, and calmly,
pure as snow;

we fell in love.

I hope we will always
hold each other's hands and hearts
for the rest of our days.

          I do,
          always.

Saturday, September 16, 2017

Go Overseas to Work

Pic source: here

Hi Bro Sis! Long time no post. How's life? I hope you are doing well. Mine? I am pretty good, but currently having such a kinda mixed feeling: excited, blessed, anxious, and nervous are all at once.

Next month is going to be challenging because I am going to wander to another place that is a bit far and quite different than before. Oh how I love Jogja and Bandung so much, so I hope this another-place will be also another 'home' for me as well.

I keep wondering. Can I adapt to a new work environment with so many diversities? Can I keep up with those great colleagues? Can I voice what's on my mind easily to them?

Despite those thoughts, I asked my mentor Russel how to face it and he gave me some tips. Here they are.
  1. Be confident. They hired you because they value you. Every new beginning can have challenges, but you'll be able to succeed.
  2. Remember that many of the others are also not native English speakers. Some are but probably most are not. You're in the sane boat.
  3. If you are going to make a formal presentation, be sure to rehearse it in advance, in front of a friend or coworker, or at least in front of a mirror.
  4. Even if it's not a formal presentation, but you are planning ahead to put your ideas forward, practice saying them out loud. Rehearse.
  5. If you are in a meeting or discussion and want to add something without previous rehearsal, begin your comments with some bridge phrase like: "I want to build on that idea by suggesting..." or "We could make that even better by..." or more negatively: "Here's another way to look at it..." or "It might be more effective to..."
Thank you Russel for the ideas.
Wish me luck and I hope this article will be helpful for you, too.

Saturday, August 26, 2017

Empat Temperamen Manusia

Pic source: here

Halo, lama nggak nulis setelah wadah tulisan pindah ke caption instagram dan biasa justifikasi pakai istilah writer's block yang mana alasan sesungguhnya adalah malas. Pertama-tama, saya mau update kehidupan, nih. Selain menjalani kehidupan sehari-hari sebagai karyawati startup, di akhir pekan terkadang saya menghabiskan waktu di tiga komunitas: Jendela, Nirwasita, dan Matahari.

Singkat cerita, Jendela adalah komunitas yang memiliki visi meningkatkan budaya membaca pada anak, Nirwasita semacam study group dengan goal tiap individu anggotanya menjadi pribadi yang lebih mawas diri, dan Matahari adalah komunitas yang saya bangun bersama teman-teman dengan menggabungkan ide dari komunitas sosial lain yang pernah kami ikuti, yang kemudian kami bawa di sebuah panti sosial anak.

Beruntung, karenanya saya jadi belajar banyak hal baru belakangan ini. Saya merasa bersyukur sekali, keingintahuan saya yang besar terhadap ilmu psikologi dan parenting (ehem!) bisa terfasilitasi dari kelas edukasi maupun praktik langsung yang saya jalani selama bergabung bersama tiga komunitas tadi. Meski masih awam, saya mau coba share sedikit ilmu yang saya dapat dari Kak Agie, ya. Kak Agie ini seorang kakak, ibu rumah tangga, sekaligus psikolog yang saya anggap sebagai mentor di Nirwasita. Kala itu beliau berbaik hati membagikan ilmunya terkait empat temperamen manusia.

***

Menurut penuturan Kak Agie, pada dasarnya setiap manusia memiliki empat temperamen yang sesuai dengan kadar cairan dalam tubuhnya. Temperamen ini ada yang bawaan lahir, juga ada yang dibentuk dari lingkungan sekitar dan pola asuh. Empat temperamen tersebut adalah:

1. Sanguine

Elemen: air
Keywords: "Trus kita mau ngapain?"
Temperamen pemicu kepribadian yang hidup

Sanguine mewakili kadar darah dalam tubuh manusia. Biasanya mereka yang dominan sanguine, orientasinya hidup di masa sekarang, mereka juga tidak memikirkan sesuatu terlalu jauh dan dalam.

Sifat utama: optimis, selalu ceria, berantakan, mudah terdistraksi, mudah adaptasi, energetik, cerewet, gerakannya dinamis, impulsif, pelupa, dangkal, sosialis, ingin selalu dikelilingi orang, banyak ide namun biasanya tidak tahu langkah apa yang harus diambil selanjutnya.

Sisi negatif: orang yang dominan sanguine sukanya senang-senang saja, jadi tipe ini agak sulit jika diberi tanggung jawab besar karena dia cenderung pelupa dan tidak berpikir terlalu dalam. Cocok jadi tim hore dan meramaikan tongkrongan.

2. Choleric

Elemen: api
Keywords: "Ayo pakai cara gue"
Temperamen pemicu kemarahan

Choleric mewakili cairan empedu kuning dalam tubuh. Mereka biasanya para pemimpin, kalo choleric akut biasanya cenderung otoriter dan super bossy. Bisa jadi ditemukan pada anak pertama.

Sifat utama: trendsetter, suka memimpin, praktis, strategis, sulit disanggah pendapatnya, keinginan kuat, tidak suka ba bi bu, percaya diri tinggi, berorientasi pada tujuan dan masa depan, motivasi tinggi, pionir, kurang terorganisir, tidak detail namun langkah jelas, mandiri, praktis, taktis, strategis, cepat ambil kesimpulan, tidak mudah menyerah.

Sisi negatif: kalau cholericnya terlalu dominan menjadi tidak penyabar, emosi mudah tersulut, cenderung egois.

3. Melancholic

Elemen: tanah
Keywords: "Kok bisa gitu ya?"
Temperamen pemicu stres

Orang yang dominan melancholic sangat perasa--secara emosi, spiritual, fisik. Tipe melancholic sangat membutuhkan sentuhan agar merasa nyaman.

Sifat utama: selalu berhati-hati, paling sadar diri dan sekitar, sensitif, analitis, perhitungan, mudah menangis, pemikir yang dalam, detail, pendendam (hati-hati makanya), sisi artistik tinggi, orientasi pada masa lalu, cepat mengembangkan diri, reflektif, pesimistis, skeptis, mood tidak stabil.

Sisi negatif: self-centered, cenderung bergumul pada satu masalah yang ujung-ujungnya mereka menjadi tidak menemukan solusi.

4. Phlegmatic

Elemen: udara
Keywords: "Kita harus ya ngelakuin itu?"
Temperamen pemicu kelesuan

Phlegmatic ini mewakili lendir hitam dalam tubuh. Mereka yang dominan phlegmatic suka memendam sesuatu dan sulit untuk mencari sahabat, karena membutuhkan waktu lama hingga akhirnya mereka percaya dengan orang lain.

Sifat utama: tenang, selalu terkondisi, tidak suka buru-buru, menghindari konflik, suka berkompromi, butuh kenyamanan, pemalas, suka keteraturan, tidak menyukai tantangan, tidak punya kepastian, keras kepala pada diri sendiri, sulit diatur.

Sisi negatif: jika seseorang phlegmaticnya dominan dan tidak diimbangi dengan lingkungan sekitar yang mendukung, dia bisa memendam semua masalah yang dimiliki dan lama-lama menjadi bom waktu. Kak Agie sempat bilang, kebanyakan psikopat itu dominan phlegmatic yang dari kecil sulit mengungkapkan apa yang dia rasakan.

***

Dari yang saya dengar dan pelajari, sebenarnya setiap individu memiliki empat temperamen ini dalam dirinya. Namun biasanya ada beberapa yang dominan, bisa satu, dua, atau tiga. Bagaimana jika keempat-empatnya seimbang? Tentu bisa. Biasanya yang begitu dimiliki oleh Sufi.

Agar mudah dipahami, ada beberapa analogi yang menggambarkan keempat temperamen ini.

1. Apa yang akan dilakukan oleh masing-masing temperamen jika dihadapkan dengan sebuah batu di tengah jalan?

- Si dominan sanguine akan terus berjalan tanpa menyadari keberadaan batu tersebut.
- Si dominan choleric akan berusaha untuk menyingkirkan batu tersebut agar tidak menghalangi jalannya, kemudian melanjutkan perjalanan. 
- Si dominan melancholic akan bertanya-tanya dari mana asalnya batu tersebut, mengapa bisa ada batu di tengah jalan, dan kemudian menjadi bingung harus berbuat apa.
- Si dominan phlegmatic sadar akan keberadaan batu tersebut, namun dia tidak peduli dan terus melanjutkan perjalanan.

2. Dalam sebuah pertunjukan, bagian apa yang akan diperani oleh masing-masing temperamen?

- Si dominan sanguine akan menjadi aktor dan berada di atas panggung. Ia ekspresif, senang menjadi pusat perhatian, dan diberi tepuk tangan. 
- Si dominan choleric akan menjadi sutradara. Ia akan membuat segala sesuatu berjalan seperti rencananya. Ia akan merasa hidup ketika diberi tanggung jawab besar.
- Si dominan melancholic akan menjadi penulis naskah. Tidak ada yang bisa menyaingi kedetailan, imajinasi, dan jiwa seninya.
- Si dominan phlegmatic akan menjadi kru. Sebagai pribadi yang menyenangi comfort zone, ia tidak akan keberatan untuk melakukan tanggung jawab tersebut selama tidak diminta untuk menjadi pengambil keputusan.

***

Setelah mempelajari empat temperamen ini, meski belum mendalam, manfaat yang saya rasakan secara pribadi adalah menjadi lebih bisa mengenali diri sendiri dan orang lain. Untuk diri sendiri, saya merasa lebih mawas dan reflektif--terutama jika sisi negatif temperamen sedang kumat. Untuk orang lain, saya belajar untuk bisa lebih memaklumi perbedaan dan bahwa tidak semua orang bisa diberi treatment yang sama. Dua minggu lagi ada kelas tambahan untuk mempelajari kombinasi temperamen, untuk rangkumannya nanti saya update lagi ya di blog ini.

Oh iya, Kak Agie juga turut menilai temperamen saya. Ia bilang saya memiliki tiga dominan: sanguine, melancholic, dan choleric. Ssst, sebenarnya saya ini sanguine manipulatif karena menurut saya itu tipe yang paling menyenangkan, jadi itu temperamen yang saya tunjukkan dan gunakan untuk bersosialisasi. Sementara choleric saya dapat dari keluarga dan lingkungan (untuk bertahan hidup), serta melancholic sepertinya sudah bawaan lahir. Hahaha.

Kalau kamu kira-kira dominan yang mana?

Saturday, November 5, 2016

Sajak Pagi

Pemandangan favoritku setiap pagi :')

***

Hai, sudah melek lagi? Selamat pagi!

Kopi pahit? Teh melati? Ini juga ada roti. Manis sekali, habis diberi selai stroberi. Eh, ingin nasi? Sini sini, ku suapi sambil kau memakai kaos kaki. Risih? Ini efisiensi! 

Amboi, pagi ini kau melamun lagi. Pahit kok diratapi? Kenapa seakan kau menikmati? Seakan menyiksa hati berubah status menjadi hobi.

Sedih. Melihat kau hatiku pilu pedih. Ini terjadi setiap hari. Ku amati kau sibuk sekali--menanti takdir tentatif: yang pergi sudi kembali.

Wahai kekasih hati, sesekali tengoklah kemari. Beri tahu apa yang kau cari. Yang rinci, agar celah itu bisa ku isi.

Satu yang pasti, tiap kau berkecil hati, ingat aku selalu di sini.

Kini hingga nanti nanti, diri ini siap berbagi luka hati dengan perasaan yang berseri.

Kau tanya kenapa mesti segala berseri? Retoris. Kan kau tahu aku jatuh hati.

Iya sih, kau tak peduli.

Tapi... Tapi...